MENGENANG
OMPUNG ABDUL HAMID HARAHAP
OMPUNG ABDUL HAMID HARAHAP
GELAR
Sekapur Sirih
Dengan terlebih dahulu mengucapkan Syukur Alhamdulillah
kehadhirat Allah Subhanahu Wataala berterimakasih kepadaNya, dan menyampaikan
Salam kepada junjungan Nabi Muhammad Sallalahu Alaihi Wasallam, tulisan ini
bertujuan untuk mengenang perjalanan hidup Ompung Abdul Hamid Harahap, gelar
Sutan Hanopan. Beliau lahir di Bunga Bondar 38 tahun setelah serdadu-serdadu
Belanda masuk ke Tanah Batak dari Sumatera Barat lewat Rao di Mandailing dalam
Perang Paderi (1825-1838). Sebuah perjalanan hidup mengawali zaman Hindia
Belanda setelah zaman kemerdekaan Kerajaan Batak di Angkola perlahan berlalu.
Usai mengikuti Sekolah Gouvernement di Sipirok, Ompung lalu menjalani kehidupan
di kampung halaman. Terakhir beliau menjadi Raja Pamusuk di Hanopan
menggantikan ayahanda Baginda Parbalohan yang berpulang ke Rachmatullah di
Jeddah dalam perjalanan kembali ke Tanah Air setelah menyelesaikan Ibadah Haji
di Mekah dan Madinah, lalu dimakamkan di kota pelabuhan Saudi Arabia itu tahun
1928. Ompung telah pula membesarkan dan membimbing anak-anaknya, terdiri dari:
8 (delapan) orang putra dan 4 (empat) orang putri, hingga berumah tangga di
Hanopan dan menyaksikan kehadiran para cucu yang sedang tumbuh dan berkembang.
Banyak didikan Ompung berikan kepada: putra dan putri hidup
di Bona Bulu, terlebih saat menjadi Raja Pamusuk Hanopan. Selaku penggemar adat
Batak Angkola Ompung harus dapat menjalin persaudaraan Dalihan Na Tolu di Bona
Bulu. Ompung memperlihatkan apa yang dinamakan: “hormat mar mora” kepada marga
Siregar Bunga Bondar yang telah mendatangkan ibu kepada marga Harahap di
Hanopan banyak generasi berturut-turut; ”manat mar kahanggi” dari: Hanopan,
Bunga Bondar, dan Panggulangan; dan “elek mar anak boru” ke Arse, Lumban Lobu,
dan Sumuran. Ompung juga berhasil meluangkan waktu mencari kembali jejak Amang
Tobangnya: Demar Harahap, gelar Ja Manogihon, yang pada ketika itu dikhabarkan
berdiam di Hanopan (Siangkal) yang kini terdapat di Kecamatan Padang Sidempuan
Barat, tidak jauh dari Padang Sidempuan. Pada saat itu Amang Tobang Ompung
Sutan Hanopan ini terpaksa meninggalkan Angkola karena perang Paderi telah
merambah ke Angkola. Dalam perjalanannya Ompung Sutan Hanopan masih bertemu
dengan sejumlah kerabat di Hanopan (Sidangkal) yang memperlihatkan kemiripan
wajah dengan pomparan yang telah lahir di Hanopan (Sipirok), karena nama
Hanopan akhir ini memang yang diberikan oleh sang ayah guna mengenang Hanopan
(Sidangkal) dari mana mereka semua berasal. Dari perjalanan mencari tempat
asal, Ompung Sutan Hanopan menghimpun Tarombo Marga Harahap dari generasi I
sampai XX.
Ompung Sutan Hanopan juga meneruskan apa yang menjadi pesan
orang tuannya, yakni: Tua ni Namangholongi, ni Haholongi (Kelebihan si
Penyayang, di Sayangi) perlu menjadi perhatian keturunannya. Ompung juga
memelihara wasiat orang tua ketika meninggalkan Tanah-Air berangkat menuju
Tanah Suci bulan Desember tahun 1927, dengan sebuah pantun pendek:
“Indalu batiti indalu bato-nang, indalu basitik manuk butongan” (alu-alu
menumbuk yang bertikai membuat ayam berkeliaran menjadi kenyang). Kedua pesan
orang tuanya ni bertujuan tidak lain untuk menyadarkan keturunan agar hidup
rukun berkeluarga, begitu juga hidup rukun bermasyarakat, karena berharga
dimanapun orang berdiam.
Ompung Sutan Hanopan menjadi Raja Pamusuk dari tahun 1928
hingga 1939. Selama masa pemerintahan dijalankan sejalan Adat Angkola, sudah
tampak pengaruh Belanda dari Barat, meski belum terlalu dalam mencampuri
jalannya kekuasaan untuk kesejahteraan dan kerukunan hidup dalam masyarakat,
diluar membayar belasting (pajak) dan melakukan kerja rodi (wajib). Ompung
Sutan Hanopan lalu digantikan adik kandungnya Ompung Tongku Mangaraja Elias
Hamonangan sampai dengan masuknya Jepang ke pulau Sumatera tahun 1942. Selama
menjabat Raja Pamusuk, Ompung Sutan Hanopan berkantor di bagian depan Bagas
Godang dan masih meninggalkan foto kenangan dirinya dan Ompu ni Amir berikut
lukisan kenangan keduanya.
Akhirulkalam, tak ada gading yang tidak retak, maka apabila
dalam perjalanan hidup Ompung Sutan Hanopan dan Ompu ni Amir silam ada prilaku,
atau perbuatan, dan hal-hal yang kurang berkenan di hati para kahanggi,
anakboru, dan mora, demikian juga lainnya, sudilah kiranya memaafkan semua
kekurangan beliau berdua. Dalam lubuk hati kami pomparan (keturunan) yang
paling dalam bersemayam hanya rasa syukur dan terimakasih yang sebesar-besarnya
kepada Allah Subhanahu Wataala yang telah menganugerahkan Ompung Sutan Hanopan
dan Ompu ni Amir sebagaimana apa adanya.
Pendahuluan
Zaman Hindia Belanda
Desa Asal
Hanopan ialah sebuah desa yang tedapat di tepi jalan-raya yang
menghubungkan Sipirok di Kabupaten Tapanuli Selatan dengan Siborongborong yang
berada di Kabupaten Tapanuli Utara le-wat: Sipagimbar, Pangaribuan, dan
Sipahutar. Jalan ini semula adalah sebuah jalan rimba yang biasa dilalui
penduduk saat bepergian antar kampung, lalu oleh pemerintah Hindia Belanda diubah
menjadi jalan-raya yang menghubungkan Onderafdeeling (sub-bagian) Tapanuli
Selatan dengan Onderafdeeling Tapanuli Utara dinamakan “jalan pahulu”. Adapun
jalan lain yang juga menghubungkan kedua onderafdeeling, ialah yang
menghubungkan Sipirok dengan Tarutung lewat Sarulla dan Onan Hasang dikenal
dengan “jalan pahae”. Kedua jalan-raya kini telah menjadi urat nadi ekonomi kedua
Onderafdeeling Tanah Batak disebutkan diatas.
Sutan Hanopan
Kini Hanopan darimana ompung Abdul Hamid Harahap (1876-1939), gelar Sutan
Hanopan, juga dikenal dengan Tuan Datu Singar berasal, terdapat di Kecamatan
Arse, Kabupaten Sipirok. Ompung Sutan Hanopan adalah anak sulung dari tiga
bersaudara datang dari seorang ayah dan seorang ibu, semuanya laki-laki, lahir di
Bunga Bondar tanggal … bulan … tahun 1876, lalu dibawa ke Hanopan. Ayahnya Sengel
Harahap, gelar Baginda Parbalohan (1846-1928) dan ibu-nya Giring Siregar putri Sutan
Bungabondar dari Bunga Bondar. Kakeknya: Alaan Harahap, ge-lar Tongku Mangaraja
Hanopan, marga Harahap yang awalya hijrah dari Lobu Sinapang, Luhat Harangan,
Padang Bolak. Ompung Tobang Alaan Harahap, gelar Tongku Mangaraja Hanopan, ketika
itu tengah remaja lalu pindah dari Lobu Sinapang di Luhat Harangan ke Bunga
Bondar mengikuti tiga orang ibotonya yang
menikah dengan marga Siregar dari Kampung itu dan men-jadi mora marga itu disana.
Ompung Sutan
Hanopan ketika itu putra sulung Raja Pamusuk di Hanopan. Ayahnya dikenal masyarakat
tidak seluruh di kampung yang berada dalam DAS (Daerah Aliran Sungai) Aek-Silo,
yakni: Arse Jae, Huta Padang, Napompar, Roncitan, Huta Tonga, Simatorkis,
Bahap, Purba Tua (Pagaran Tulason), Muara Tolang dan Tapus; tetapi juga di berbagai
kampng lain di Angkola Sipirok, bahkan hingga beberap tempat di Mandailing. Ompung
banyak menhabiskan masa kecilnya di kampung halaman bersama kedua orang-tua
dan saudara-saudara sekandung, yakni: Kasim
Harahap, gelar Mangaraja Elias Hamonangan; dan Rakhmat Harahap, gelar Sutan
Nabonggal.
Sipirok
Setelah
pemerintah Hindia Belanda memperkenalkan pendidikan di tanah jajahan pada tahun
1880, maka dalam rentang masa sedikit lebih dari satu abad, tidak sedikit
putera dan puteri dari berbagai Huta dan Luhat di Tanah Batak lalu mengikuti pendidikan
Barat, mulai rendah di da-erahnya sendiri, sebagai: murid Sekolah
Gouvernement (Sekolah Pemerintah) bernama: Volks School (Sekolah Rakyat) 3
tahun, kelas I, II, dan III, berbahasa Melaju dan tulis Latin. Adahaan apun lanjutannya ketika itu, ialah: Vervolg School
(Sekolah Sambungan) 2 tahun, kelas IV dan V. Setelah Ompung Sutan Hanopan mencapai
usia sekolah, ia kemudian dikirim Amang Tobang Baginda Parbalohan ke Sipirok
untuk mengikuti sekolah gouvernement yang oleh masyarakat dikenal dengan “Sekolah
Melajoe” ketika itu. Ompung menyelesaikan pendidikan tanpa men-dapat halangan
dan selesai mendapat surat tanda “Tammat Belajar” menurut waktunya. Ia
ke-mudian kembali ke Hanopan membantu ayahnya yang menjadi Raja Pamusuk di
kampung itu. Ompung Sutan Hanopan terutama berperan melola perusahaan keluarga
di kampung untuk membantu orang tuanya ketika itu.
Hanopan
Di Hanopan Amang Tobang Baginda
Parbalohan selain mempunyai perkebunan kopi, karet, begitu juga sawah ladang
yang dibangun untuk menghidupi keluarga. Ompung Abdul Hamid Harahap (1876-1939),
gelar Sutan Hanopan banyak menangani usaha keluarga membantu orang-tua di
kampung yang dikerjakan sebagai perusahaan keluarga. Selain dari itu ada lagi peterna-kan
lembu di Padang Bolak yang menjadi urusannya. Ompung Sutan Hanopan kemudian
menikah dengan Dorima Siregar, marga Siregar dari Bunga Bondar, boru (putri)
Sutan Bunga-bondar. Dengan kelahiran cucu laki-laki pertama yang diberi nama
Amir Hamzah dari putra su-lung, maka Ompung laki-laki dan Ompung perempuan lalu
mendapat sapaan: Ompu ni Amir. Ompung Sutan Hanopan mendapat karunia 12 (dua
belas) orang putra dan putri, dari sulung sampai bungsu sebagaimana yang
dikemukakan dibawah ini:
1. Sutor Harahap, gelar
Baginda Pandapotan
2. Maujalo Harahap, gelar
Baginda Soripada
3. Siti Angur (pr)
4. Duma Sari (pr)
5. Pelinuruddin Harahap,
Haji Muhammad Nurdin
6. Aminah (pr)
7. Sorimuda (Hisar)
Harahap, gelar Baginda Harahap.
8. Muhammad Din (Diri)
Harahap, gelar Baginda Raja Mulia Pinayungan
9. Muhammad Harahap
10. Erjep Khairani (pr)
11. Marajali Harahap,
gelar Baginda Raja Guru Sodungdangon
12. Pamusuk Harahap, gelar
Baginda Namora Pusuk Nihayu.
Foto
Anak-anak Ompung
Kilas
Sejarah
Sebelum kehadiran bangsa Belanda di Tanah
Batak, kawasan itu telah terlebih dahulu dikuasai berbagai
kerajaan Batak bernama Luhat, yang setiap darinya memiliki pemerintahan sendiri
bersifat
otonom, dan belum mengenal pemerintah pusat yang mengatur kehidupan mereka dari
luar. Diantara sejumlah Luhat yang ada di Tapanuli Selatan ketika itu, dapat dikemukakan:
Luhat Sipirok, Luhat Angkola, Luhat Marancar, Luhat Padang Bolak, Luhat
Barumun, Luhat Man-dailing, Luhat Batang Natal, Luhat Natal, Luhat Sipiongot,
dan Luhat Pakantan. Kesemua Luhat yang terdapat di Tanah Batak dari Selatan
hingga ke Utara mendiami kawasan yang berada di pulau Sumatera bagian Utara: di
Selatan berbatasan dengan Tanah Minangkabau, di Utara berba-tasan dengan Tanah Aceh, di Timur berbatasan dengan Tanah
Melayu, dan di Barat dengan Samudera Hindia.
Luhat, dinamakan juga Banua, pada ketika
itu masih merupakan kesatuan genealogi wilayah atau teritorial, berada dibawah pemerintahan
yang diatur menurut Adat Batak berlandaskan kekera-batan Dalihan Na Tolu
(Tungku Yang Tiga) sebagaimana tercantum dalam surat Tumbaga Holing diajarkan
leluhur komunitas Batak silam. Sebuah Luhat atau Banua, selain berdiri sendiri
juga setingkat satu dengan lain di tingkat pemerintahan. Pucuk pimpinan Luhat ialah
Raja Panu-sunan Bulung (RPB), awalnya datang dari keluarga-keluarga Sisuan
Haruaya (penanam pohon Beringin atau pendiri Luhat) di wilayah itu. Dalam
sebuah Luhat bernaung sejumlah Huta atau Kampung, juga dinamakan Bona Bulu (Rumpun
Bambu), karena ketika itu Huta memang diberi pagar rumpun bambu untuk
melindunginya dari musuh yang menyerang. Terdapat juga ketika itu Bona Bulu yang
menaungi sejumlah Pagaran (Anak Kampung).
Huta selain tempat berdiam, ada juga lahan
tempat mencari nafkah dengan keberadaan: sawah, ladang; perairan (sungai,
danau, laut), padang, semak/belukar, hutan, lembah, dan pegunungan yang mengitari,
darimana berbagai keperluan masyarakat dapat didatangkan. Pucuk pimpinan Huta
ialah Raja Pamusuk, awalnya datang dari keluarga Sisuan Bulu (penanam pohon Bambu
a-tau para pamungka Huta atau pendiri Kampung) di wilayah tersebut. Huta yang jumlah
pendu-duknya besar oleh kesuburan tanah dan kaya lingkungan alam, juga dipimpin
Raja Pamusuk, te-tapi dibantu Kepala
Ripe atau Kepala Keluarga.
Raja dalam pemahaman masyarakat Batak,
bukanlah penguasa sebagaimana terdapat dalam buku sejarah Eropadi zaman feodal yang dipelajari di sekolah
menengah, tetapi adalah seorang yang dihormati di kalangan yang bermana:
Hatobangon ni Luhat atau Huta (Tetua Luhat dan Huta), karena selain orangnya
pandai, juga mempunyai pengetahuan luas dan pengalaman banyak, juga dapat
memberi teladan; tepatnya yang terbijak dari kalangan mereka (Primus
Interpares) datang dari keluarga para pendiri Luhat dan Huta. Ia mendapat julukan
dalam Adat Batak sebagai: “Haruaya Parsilaungan” (Pohon Beringin Tempat
Bernaung). Dalam masyarakat Angkola dan Sipirok, dinamakan: “Banir
Parkolipkolipan”, sedangkan di Mandailing diberi gelar “Banir Par-ondingondingan”.
Tarombo Marga Harahap dari Tapanuli
Generasi I sampai XX adalah warisan Ompung Abdul Hamid, gelar Sutan Hanopan, ketika
beliau berhasil memimpin rombongan yang berangkat dari Hanopan (Sipirok) untuk menemukan
kampung asal bernama Hanopan (Sidangkal) di jalan menuju ke Simarpinggan tidak
jauh dari kota Padang Sidempuan. Ternyata terdapat dua kampung berdampingan di
jalan yang menuju ke Simarpinggan di kecamatan Padang Sidem-puan Barat, masing-masing: Hanopan
dan Sidangkal, dan yang disebut paling awal ialah kam-pung asal marga Harahap
pomparan Tongku Mangaraja Hanopan; kemudian dikenal dengan Hanopan-1. Adapun yang dipungka Amang Tobang
Baginda Parbalohan bersama adik-adik dan kerabatnya dari Bunga Bondar silam ialah
yang terletak di Luat Sipirok, lalu dinamakan Hano-pan-2. Dengan demikian terdapat
dua “Hanopan” menurut pemahaman marga Harahap yang berasal dari Hanopan-2,
masing-masing yang terletak di kecamatan Padang Sidempuan Barat, dan yang terletak
dekat Bunga Bondar dan berada di kecamatan Arse. Penamaan Hanopan-1 dan Hanopan-2
bermaksud untuk menerangkan mengapa ada
dua nama Hanopan dalam per-jalanan sejarah marga Harahap pomparan Tongku Mangaraja Hanopan.
Rombongan Ompung Sutan Hanopan saat itu masih sempat berjumpa
dengan kerabat kakek Tongku Mangaraja Hanopan, ketika yang disebut terakhir masih
remaja dan tinggal disana se-belum Perang Padri merambah ke Angkola. Catatan perolehan
Ompung Sutan Hanopan lalu dikerjakan putranya yang kesebelas: Opzichter
Marajali Harahap BRE di Pematang Siantar, lalu dicetak biru (blue print) yang diberi
judul: Stamboom (Family Tree) Marga Harahap dari Tapanuli, selesai dikerjakan pada
tanggal 12 Juli 1940. Dari Blue Print tarombo inilah, cucunya: H.M. Rusli
Harahap, gelar Sutan Hamonangan, menambahkan kepada tarombo marga Harahap diatas 3 (tiga) generasi yang muncul di Bunga Bondar
menjadikan semuanya XXIII generasi. Yang ak-hir ini kemudian ditambah lagi dengan
5 (lima) generasi yang muncul di Hanopan-2. Kini kedua kelompok marga Harahap,
masing-masing generasi I – XXIII dan I – V telah dimuat ke internet untuk
mempertemukan semuanya agar diketahui seluruh pomparan (keturunan), mulai dari Hanopan-1,
Bunga Bondar, Hanopan-2, sampai ke perantauan, kapan dan dimanapun mereka berada
di muka bumi ini.
Awalnya, pemerintah Hindia Belanda menamakan
Afdeeling Batak Landen (sub-bagian Tanah Batak) kepada kawasan yang terletak sekitar
danau Toba dengan ibukota Tarutung. Sub-bagian Tanah Batak lain dinamakan: Afdeeling
Padang Sidempuan untuk Tapanuli Selatan, dan Afde-eling Sibolga untuk Tapanuli
Tengah. Penggabungan ketiga Afdeeling menjadi Keresidenan Ta-panuli yang berada
dalam lingkungan pemerintahan Hindia Belanda timbul dari hasil temuan Et-noloog
(Belanda) atau Etnologist (Inggris), bangsa Belanda yang menemukan adanya kesatuan
logat (bahasa) dan adat-istiadat yang terlihat jelas dalam kehidupan
sehari-hari maupun acara adat pada suku-suku bangsa Batak yang mendiami ketiga
afdeeling. Lingkungan alam yang me-mudahkan perhubungan, hubungan kerabat,
perkawinan, dan agama, juga turut mempengaruhi hasil penelitian ketika itu.
Pemerintah Hindia Belanda lalu mengelompokkan suku-suku bangsa Batak berdiam
daratan pulau Sumatera menurut logat dan kehidupan kedalam sejumlah puak,
masing-masing: Karo, Simalungun, Pakpak dan Dairi, Toba, Angkola, dan
Mandailing, yang di-kenal sampai saat ini.
Pada tahun 1867 Tanah Batak masih menjadi
bagian dari Gouvernement van West Kust (Guber-nemen Sumatera Barat) yang berpusat
di kota Padang, Sumatera Barat, dengan ibukota Padang Si-dempuan. Kemudian
tahun 1906 Tanah Batak memisahkan diri dan membentuk keresidenan Tapanuli
dengan ibukotanya Sibolga. Oleh pemerintah Hindia Belanda Keresidenan Tapanuli selanjutnya
dipecah menjadi dua Afdeeling,
masing-masing: Afdeeling Tapanuli Utara dengan Asisten Residen berkedudukan di
Tarutung, dan Afdeeling Tapanuli Selatan dengan Asisten Residen berkedudukan di
Padang Sidempuan. Afdeeling akhir selanjutnya oleh pemerintah Hindia Belanda
dibagi menjadi 8 (delapan) Onderafdeeling, yang setiap dari padanya dipimpin seorang
Controleur berkedudukan di: Batang Toru, Angkola, Sipirok, Padang Bolak,
Barumun, Mandailing, Ulu dan Pakantan, dan Natal.
Dibawah setiap Onderafdeeling,
pemerintah Hindia Belanda memperkenalkan Distrik yang di-pimpin oleh seorang Demang.
Dibawahnya diperkenalkannya pula Onderdistrik yang dipimpin oleh Asisten
Demang. Dibawah asisten Demang pemerintah Hindia Belanda memperkenalkan Kuria yang
mengepalai Hakuriaan (Kekuriaan) untuk membawahi Huta termasuk sawah ladang dan
lingkungan sekitarnya. Kuria berasal
dari Curia, sebuah istilah pemerintahan yang diberlakukan Gereja Katholik di
Vatikan, Roma, Italia; lalu oleh pemerintah Hindia Belanda diperkenalkan ke
Tanah Batak. Curia lantas ditulis Kuria, melahirkan istilah Hakuriaan dalam bahasa Batak. Dengan
Hakuriaan pemerintah Hindia Belanda berusaha melenyapkan kata Luhat atau Banua dipimpin
Raja Panusunan Bulung (RPB) dari peredaran, yang kala itu bersemayam dalam kenangan
orang-orang Batak dan merupakan kebanggaan daerah. Meski pemerintah Hindia Be-landa
tampaknya tidak berniat mencampuri pemerintahan Huta yang masih dijalankan
menurut Adat Batak setempat ketika itu, akan tetapi dalam pelaksanaan, Belanda berupaya
juga untuk mempengaruhi siapa yang sebaiknya dijadikan Raja Pamusuk memimpin sebuah
Huta.
Sistim pemerintahan sentralistik pertama
kali diperkenalkan pemerintah Hindia Belanda di Tanah Batak dengan menempatkan
seorang Asistent Resident Nederlads Indie (Asisten Residen Hindia Belanda) di koa
Natal. Dari Asisten Resident lalu ditingkatkan menjadi Resident Nederlands
Indie (Residen Hindia Belanda) yang berkedudukan di Sibolga. Pemerintah Hindia Belanda
di Tapanuli ketika itu lalu dijadikan bagian dari pemerintah Hindia Belanda yang
me-nguasai seluruh nusantara berkedudukan di Batavia, pulau Jawa, dan dipimpin seorang
Gou-verneur-Generaal Nederlads Indie (Gubernur-Jenderal Hindia Belanda).
Gubernur-Jenderal Hin-dia Belanda di Batavia ialah wakil Raja Belanda dari
negara Belanda yang berkedudukan di Den Haag, bertugas untuk mengurus tanah
jajahan Belanda seberang lautan bernama Oost Nederlands Indie (ONI) atau Hindia
Belanda Timur (HBT). Raja Belanda masih mempunyai tanah jajahan seberang lautan
lain yang bernama West Nederlands Indie (WNI) atau Hindia Belanda Barat (HBB) yang
terletak di Amerika Selatan, dikenal dengan Suriname.
Dengan anggaran pendapatan pemerintah
Hindia Belanda di Tapanuli yang kian merosot menjelang kedatangan serdadu-serdadu
Fascist Jepang datang ke Tanah Batak pada awal Perang Dunia ke-II,
onderafdeeling yang delapan bilangannya di Tapanuli Selatan ketika itu, lalu
disu-sutkan menjadi 4 (empat), masing-masing: Angkola dan Sipirok, Mandailing
Besar dan Kecil U-lu serta Pakantan, Natal dan Batang Natal, dan Padang Lawas.
Dan menjelang bertekuk lutut ke-pada Jepang, pemerintah Hindia Belanda lalu menciutkan
lagi keempat Onderafdeeling menjadi 3 (tiga), yakni: Angkola dan Sipirok,
Padang Lawas, Mandailing dan Natal.
Dari surat keterangan yang dikeluarkan
Direktur Regional Keresidenan Tapanuli di Sibolga no: 181 tertanggal 26 April
1924, tentang ketetapan pembayaran gaji yang dilakukan Directeur van Onderwijs
en Eredienst (Departemen Pendidikan dan Agama) di Tapanuli ketika itu, Ompung
Sutan Hanopan disebutkan sebagai President Serikat Islam (PSI) kampung Hanopan,
dan men-dapat selembar salinan keputusan untuk diketahui.
Raja Pamusuk
Dengan
berpulangnya Amang Tobang Baginda Parbalohan ke Rakhmatullah di Jeddah tahun
1928 dalam perjalanan kembali dari Tanah Suci ke Tanah-air setelah menunaikan
Ibadah Haji, maka sebagai putra sulung Ompung Sutan Hanopan lalu diangkat menjadi
Raja Pamusuk di Hanopan di usianya yang ke 52 tahun, untuk menggantikan ayahnya.
Ompung Berpulang ke
Rahmatullah
Dengan tidak menunjukkan gangguan kesehatan
berarti kecuali lanjut usia, Ompung Abdul Hamid Harahap, gelar Sutan Hanopan
berpulang ke Rachmatullah tanggal 27 Desember 1939 jam 08.55 pagi di Bagas
Godang Hanopan. Innalillahi Wa Inna Ilaihi Rojiun, seluruh Hanopan berduka
karena Raja Pamusuk berpulang ke Rakhmatullah. Jenazah Ompung lalu dibaringkan
di ruang tengah Bagas Godang Hanopan. Hatobangon di Hanopan berkumpul di Sopo
Godang untuk membicarakan kerja Adat
yang perlu dilakukan padanya, juga Raja Pamusuk yang akan menggantikan. Khabar
berpulangnya Ompung disampaikan pula kepada putra dan putri di tanah perantauan,
ttidak terkecuali kampung torbing balok dalam DAS Aeksilo sampai Bunga Bondar
dimana mora marga Harahap dari Hanopan berdiam. Para pelayat berduyun-duyun datang
ke Bagas Godang Hanopan yang diterima Ompu ni Amir dadaboru (Ompung perempuan)
dengan pura dan putri yang tengah berduka; semuanya mengharapkan kesabaran dan tawakkal
kepada Allah Suhanahu Wataala atas kepergian Ompung Sutan Hanopan yang telah
dipanggil Sang Kha-lik. Pembacaan ayat-ayat suci Al-Quran ul Karim lalu dikumandangkan
di ruang tengah Bagas Godang Hanopan.
Pada hari yang sama, setelah segala sesuatu yang
berhubungan dengan fardhu kifayah dalam a-gama
Islam diselenggarakan, jenazah Ompung diberangkatkan dari Bagas Godang dengan
Adat Batak nagok menuju ke tempat peristirahatan terakhir di TPU (Tempat Pemakaman
Umum) Ha-nopan, Sipirok, Tapanuli Selatan. Acara tahlilan tiga malam
berturut-turut kemudian dilang-sungkan di Bagas Godang untuk memanjatkan doa
kepada Allah Subhanahu Wataala, agar kepa-da almarhum diberi tempat yang lapang
di alam barzah, diampuniNya dosa yang pernah dilaku-kan selama hayatnya, begitu
juga kepada kedua orangtua almrrhum yang telah berpulang ke Rakhmatullah silam;
agar kepada mereka yang ditinggalkan diberiNya kesabaran dan ketabahan
menghadapi musibah yang datang.
Pembagian Warisan
Dengan berpulangnya
Ompng Sutan Hanopan pada tanggal 27 Desember 1939, maka oleh putra dan putrinya
seluruh peninggalan beliau di Hanopan dibagi menurut Adat Batak, sebagaimana
yang diutarakan dibawah ini:
SURAT PEMBAGIAN
HARTA PENINGGALAN SUTAN HANOPAN
---------------------------------------------------------------
Fatsal 1.
Pada ini hari tigapuluh Januari
1900 empat puluh satu, kami yang beranda tangan dibawah ini ahli waris menurut
Adat Batak dari Sutan Hanopan, Tuan Datu Singar almarhum, yang telah berpulang
ke Rakhmatullah pada hari Arba (Rabu), tanggal 27 Desember 1900 tiga puluh sem-bilan, pukul 08.55 pagi di Hanopan, Sipirok:
1. Sutor
Harahap, gelar Baginda Pandapotan:
a. untuk
dirinya sendiri (voor zich in prive)
b. sebagai
wakil dan kuasa dari Maujalo Harahap, gelar Baginda Soripada, menurut Su-rat
Kuasa dan Wakil yang bertanggal Medan, 16 Januari1900 empat puluh satu, Surat
Kuasa dan wakil mana telah dipersaksikan dan dibenarkan oleh kuasa dan wakil
ahli waris no.2 sampai no.4 dan saksi-saksi yang disebutkan dibawah ini.
2. Haji
Muhammad Nurdin Harahap.
3. Hisar
Harahap, gelar Baginda Harahap.
4. Diri
Harahap, gelar Baginda Mulia Pinayungan
dan semuanya,
yaitu: no.1 (a dan b), 2, 3, dan 4 sebagai wali (voogd) untuk dan atas
nama ahli waris dari Sutan Hanopan Tuan
Datu Singar tersebut yang masih dibawah umur (min-derjarig):
1. Marajali
Harahap, gelar Baginda Raja Guru Sodungdangon dan
2. Pamusuk
Harahap, gelar Baginda Namora Pusuk ni Hayu
dan dihadiri
ibu kami Ompu ni Amir, telah memperbincangkan dan memutuskan pembaha-gian harta
peninggalan ayah kami Sutan Hanopan, Tuan Datu Singar, almarhum menurut Adat
Batak sebagai berikut:
1. Rumah
serta tanahnya (Bagas Godang) diberikan kepada anak sulung Sutor Harahap, gelar
Baginda Pandapotan bersama segala tanggungannya menurut Adat Batak.
2. Perumahan
yang letaknya dimuka rumah Haji Abdullah Umar seberang jalan besar dibe-rikan
kepada Maujalo Harahap, gelar Baginda Soripada dan berwatas: Timur dengan ta-nah
Haji Abdullah Umar, Selatan sawah yang diberikan kepada Maujalo Harahap, gelar
Baginda Soripada, Barat
tanah Haji Muhammad Nurdin Harahap, dan Utara jalan besar.
3. Perumahan
yang letaknya dimuka Openbare Vervolgschool Hanopan diberikan setengah kepada
Haji Muhammad Nurdin Harahap sebelah Timur dan berwatas: dengan tanah Ja
Paranginan, Selatan dengan tanah pekuburan, Barat Perumahan Marajali Harahap,
Utara Openbare Vervolgschool.
4. Perumahan
yang letaknya dimuka rumah Ja Parlaungan diberikan kepada Baginda Hara-hap dan
watasnya: Timur dengan tanah Ja Riapan, Selatan jalan besar, Barat Tanah Ja
Hatunggal, Utara jalan
ke Openbare Vevolgschool.
5. Perumahan
yang letaknya dintara rumah kami dengan jalan besar diberikan kepada Mu-hammad
Diri Harahap, gelar Baginda Raja Mulia Pinayungan dan berwatas: Timur de-ngan
jalan kampung, Selatan dengan jalan besar, Barat dengan rumah Ja Riapan, Sutan
Mangalai, dan Ja Niarba, Utara dengan satu baris (tiga) pohon kelapa.
6. Perumahan
yang letaknya dimuka Openbare Vervolgschool Hanopan yang setengah lagi
diberikan kepada
Marajali Harahap, gelar Baginda Raja Guru sodungdangon dan ber-watas: Timur
dengan perumahan Haji Muhammad Nurdin Harahap, Selatan dengan pe-kuburan, Barat
dengan jalan kampung, Utara Openbare Vervolgschool.
7. Pamusuk
Harahap, gelar Baginda Namora Pusuk ni Hayu anak bungsu tinggal serumah dengan
anak sulung selama Pamusuk Harahap belum
mampu medirikan rumahnya sen-diri. Tanah perumahan untuk Pamusuk Harahap ialah
tanah kosongyang letaknya diantara rumah kami dengan rumah Ompu Sori.
Fatsal 2.
(Hal Kebon Rambung Huta Jae)
Kebun rambung ini
dibagi menurut Adat Batak sesudah diambil bagian anakboru. Anak sulung mendapat
1/8 ditambah 2/3 dari 1/8 bahagian atau 5/8 bahagian, anak bungsu mendapat 1/8
ditambah 1/3 dari 1/8 bahagian atau 4/24 bahagian, dan yang lain masing-masing
1/8 atau 3/24 bahagian. Adapun pembahagian ini berturut-turut dari anak sulung
hingga anak bungsu (manghutkon partubu) dari sebelah Timur sampai ke Barat dan masing-masing
bahagian berwatas sebelah Utara degan kebun rambung Mangaraja Elias, dan
sebelah Selatan dengan Aek Haminjon. Perwatasan maing-masing sebelah Timur dan
Barat ialah antara dua pohon rambung dari antara mana masing-masing mendapat
sete-ngah. Samasekali yang ditanam, didirikan dan yang ada diatas bahagian
masing-masing turut menjadi hak masing-masing. Sesudah kami periksa, kami
timbang dan kami putuskan bahagian masing-masing berturut-turut mangihutkon
partubu dari Timur sampai ke Barat sebagai berikut:
1. Sutor Harahap, gelar Baginda
Pandapotan, medapat dua puluh delapan baris, kira-kira 855
pohon.
2. Maujalo Harahap, gelar Baginda
Soripada, mendapat tujuh belas baris, kira-kira 513 pohon.
3. Haji Muhammad Nurdin Harahap
mendapat enam belas baris, kira-kira 513 pohon.
4. Hisar Harahap, gelar Baginda
Harahap mendapat lima belas baris, kira-kira 513 pohon.
5. Muhamad Diri Harahap, gelar Baginda
Mulia Pinayungan, mendapat lima belas baris, kira-kira
513 pohon.
6. Marajali Harahap, gelar Baginda
Raja Guru Sodungdangon, mendapat tujuh belas baris,
kira-kira 513 pohon.
7. Pamusuk Harahap, gelar Baginda
Namora Pusuk Ni Hayu, mendapat dua puluh lima baris,
kira-kira 684 pohon.
8. Anakboru (Tiangur, Duma, Mastri Khairani)
dengan hak “ memperusahai” dan mengambil hasilnya untuk keperluan sendiri
(veruchtgebruik) seumur hidup, dengan hak masing-masing 1/3 seorang, mendapat
lima belas baris, kira-kira 345 pohon.
Apabila salah satu meninggal, maka hak itu pindah
kepada yang masih hidup; dan apabila ketiganya telah meninggal, maka kebon
ambung itu kembali kepada ahli wa-ris yang tujuh, atau warisnya dengan hak
masing-masing satu pertujuh seorang.
Fatsal 3.
(Hal Kebon Rambung Aek Godang)
a. Kebung
rambung ini, sebahagian dari sebelah tanah yang datar menurut keterangan a-nakboru
kami si Duma, telah diberikan oleh ayah kami almarhum kepadanya. Pem-berian ini
kami benarkan, akan tetapi si Duma atau ahli warisnya, tidak berhak men-jual,
menggadaikan, atau yang menyerupai itu kebon tersebut kepada orang lain, ka-lau
diantara kami ahli waris, atau waris kami, masih ada yang suka membeli kebun
itu, ataupun menerima gadai, atau dengan cara yang lain.
b. Yang
sebahagian lagi yaitu sebelah tanah miring pinggir Aek Siguti, mulai dari
muara Aek Sanggar sampai muara Aek
Haminjon, dibagi menurut Fatsal 2 sub no.1 sampai no.7.
c. Perwatasan
antara kebon si Duma dengan kami ahli waris, akan kami timbang dan ka-mi
tentukan kelak.
Fatsal 4.
(Bongkale)
(Tanah yang akan dijadikan sawah, kebun atau
hauma yang tinggal gasgas, par-kopian).
Bongkale kami yang di
Muara Tolang, Aek Haminjon, Aek Godang, Aek Silo, dan di tempat lain, akan
dibagi kelak menurut Fatsal 2 sub no.1 sampai no.7. Bongkale di Aek Silo yang
diperusahai oleh anakboru kami Tiangur boleh dimilikinya seumur hidupnya dengan
perjanjian tidak boleh dijualnya, digadaikan, ataupun dengan cara lain kalau dian-tara
kami atau waris kami masih ada yang suka membelinya, menerima gadai atau de-ngan
cara lain.
Fatsal 5.
(Hal Sawah-sawah)
1. Kepada
Baginda Pandapotan diberikan:
a. Saba
Jae, watasnya sebelah Timur dengan tembok besar, Selatan dengan sawah Mangaraja
Alaan, Barat dengan tanah Sutan Pane dengan Mangaraja Gulingan, dan Utara
dengan sawah Baginda Pandapotan.
b. Saba
Akkorodan, watasnya sebelah Timur dengan sawah Ja Poso dan Ja Simin, Selatan
sawah Saribun, Barat sawah Mangaraja Elias, dan Utara dengan kebun Ja Bandol
Hutapadang.
2. Kepada
Baginda Soripada diberikan:
Saba Huta, watasnya sebelah Timur dengan jalan ke
Napompar, Selatan dengan sa-wah Mangaraja Elias, Sobar dan kebon Mangaraja
Elias, Barat dengan sawah Haji Muhamad Nurdin Harahap, dan Utara dengan
perumahan Baginda Soripada dengan bondar Hanopan.
3. Kepada Haji Muhamad Nurdin Harahap diberikan:
a. Saba
Huta Jae, watasnya sebelah Timur dengan tanah Ja Siantar, selatan dengan sawah
Ja Aman dan Ja Paranginan, Barat dengan bondar Hanopan/Pagaran Tula-son dan
Utara dengan watas kampung Pagaran Tulason.
b. Saba
Jae, watasnya sebelah Timur dengan sawah Mangaraja Alaan, Selatan de-ngan sawah
Haji Umar, Barat dengan sawah Ja Aman, dan Utara dengan sawah Ja Siantar.
4. Kepada
Baginda Harahap diberikan:
a. Saba
Julu, watasnya sebelah Timur dengan sawah Baginda Soritua, Selatan de-ngan
Baginda Siagian, Barat dengan sawah Saribun, dan Utara dengan Mangaraja Alaan
dan Baginda Namora Pusuk Ni Hayu.
b. Saba
Jae, watasnya sebelah Timur dengan sawah Baginda Pandapoan, Selatan de-ngan
sawah Baginda Namora Pusuk Ni Hayu, Barat dengan tanah Sutan Pane dan Mangaraja
Gulingan, Uara dengan kolam dan sawah Baginda Pandapotan.
5. Kepada
Baginda Mulia Pinayungan diberikan:
Saba Jae,
watasnya sebelah Timur dengan jalan Kampung Hanopan, Selatan dengan sawah Baginda Raja Guru Sodungdangon (bondar
pematang besar), Barat dengan Tembok Besar dan sawah Ismail, dan Utara dengan
sawah Ompu Sindar dan Ismail.
6. Kepada
Baginda Raja Guru Sodungdangon diberikan:
Saba Jae,
watasnya sebelah Timur dengan jalan Kampung Hanopan, Selatan dengan jalan
besar, Barat dengan Tembok Besar dan sawah Mangaraja Alaan, dan Utara de-ngan
sawah Baginda Mulia Pinayungan.
7. Kepada
Baginda Namora Pusuk Ni Hayu diberikan:
a. Saba
Jae, watasnya sebelah Timur dengan Mangaraja Alaan, dan jalan besar, Se-latan
dengan jalan besar, Barat dengan tanah Mangaraja Gulingan, dan Utara de-ngan
sawah Baginda Harahap.
b. Saba
Julu, watasnya sebelah Timur dengan sawah Baginda Soritua, Selatan de-ngan
Baginda Harahap, sebelah Barat dengan sawah Kariaman, dan Utara dengan watas
Huta Padang.
Fatsal 6.
(Hal Hutang Perusahaan Pada Hari Meninggalnya
Sutan
Hanopan almarhum)
Untuk
melunasi hutang diambil dari hasil perusahaan almarhum Sutan Hanopan, antara
lain: coupon rambung, getah rambung, hasil sawah, dan lainnya. Barang siapa ahli
waris yang dapat mengangsur hutang tersebut (membeli kembali sawah dan lainnya)
dengan perjanjian bahwa uang akan dibayar kembali dari hasil penjualan peninggalan
Sutan Hanopan almarhum. Yang mengambil kembali boleh mempergunakan hasil sawah
yang dibelinya asalkan demi untuk kebaikan semua pewaris.
Fatsal 7.
Kami ahli waris
samasekali tidak berhak memjual, menggadaikan, atau dengan cara lain, harta
peninggalan ayah kami sebahagian atau samasekali selama ibu kami masih hidup,
dan selama Baginda Raja Guru Sodungdangon, dan Baginda Namora Pusuk Ni Hayu
masih bersekolah.
Fatsal 8.
Pembahagian ini baru
berlaku dan sah dengan sepenuhnya, apabila ibu kami telah ber-pulang, Baginda
Raja Guru Sodungdangon, dan Baginda Namora Pusuk Ni Hayu tidak bersekolah lagi,
hutang-hutang yang tersebut di Fatsal-6 telah lunas samasekali.
Fatsal 9.
Apabila ada perubahan
dan soal-soal yang menjadi bibit perselisihan, yang berkepenti-ngan musti
takluk kepada putusan kami ahli waris dengan paling sedikit enam suara, asal-kan
berupa keadilan untuk kami bersama. Jika perlu akan kami ambil juga advies dari
Mora dan Anakboru kami.
Fatsal 10.
Selama ibu kami masih
hidup, Baginda Raja Guru Sodungdangon dan Baginda Namora Pusuk Ni Hayu masih
bersekolah, coupon rambung sekali-kali tidak boleh dibagi, dan a-pabila coupon
tidak ada dikeluarkan lagi, maka hasil getah rambung musti diserahkan, akan
jadi belanja Baginda Raja Guru Sodungdangon dan Baginda Namora Pusuk Ni Ha-yu
bersekolah.
Fatsal 11.
Masing-masing boleh
memperusahai kebun rambungnya asalkan jangan menjadi sebab
kepada yang berwajib
untuk menurunkan couponnya. Hasil getah boleh dipakai untuk keperluan sendiri,
akan tetapi ongkos membersihkan (onderhoud) musti dipikul sendiri
dengan memperhatikan
Fatsal-10.
Fatsal 12.
Apabila yang merantau
pulang dan bakal tinggal di kampung Hanopan dan bahagian sawahnya masih
ditangan orang lain, sawahnya itu musi dibeli kembali oleh ahli waris semuanya
menurut Adat Batak dan masing-masing banyaknya menurut Fatsal-2 sub no.1 sampai
7, dan kalau ahli waris belum mampu, maka hal itu akan dimusaratkan oleh ahli
waris semuanya, dan putusannya tidak boleh merugikan kepada yang pulang
merantau itu.
Fatsal 13.
Apabila pembahgian sah
sepenuhnya sah dengan sepenuhnya menurut Fatsal-8, salah satu ahli waris tidak
berhak menjual, menggadaikan, atau yang menyerupai itu dari harta bagiannya
kepada orang lain, terkecuali apabila saudaranya sekalian menolak dan tidak
suka membeli, menerima gadai atau dengan cara lain dengan harga yang diminta
oleh orang lain itu.
Fatsal 14.
Pekarangan, pohon
kueni, pohon kelapa, pohon jeruk, yang dibelakang Sopo Godang Hanopan diberikan
kepada Baginda Soripada.
Fatsal 15.
Perumahan, kebun, dan
sawah yang berwatas sebelah Timur dengan kebon Ja Pangari-buan, Barat tanah
Malim Muhamad Arif, Selatan tanah Mara Lelo, dan Utara tanah Ja Hatunggal yang
dibeli oleh almarhum ayah kami dari Ja Pinayungan di Muara Tolang, kami berikan
kepada anakboru kami si Ijam (Ruame) dengan hak turun temurun, dengan
perjanjian tidak boleh dijual, digadaikan, atau dengan cara lain, kepada orang
lain, kalau diantara kami ahli waris atau waris kami ada yang suka membeli,
menerima gadai atau dengan cara lain.
Fatsal 16.
Semua ahli waris mesti
berusaha supaya bahagian masing-masing dapat diperoleh dengan menyenangkan
kepada masing-masing, akan tetapi musti menurut Fatsal-2 sub no.1 sam-pai 7. Sawah yang diberikan
kepada Baginda Soripada di Saba Huta adalah menjadi u-kuran bahagian waris no.2
sampai no.6, dan anak sulung mendapat 1
2/3 X dan anak bungsu mendpat 1 1 /3 X dari sawah Baginda Soripada
tersebut. Kalau sawah almarhum ayah kami tidak cukup untuk memenuhi ukuran tersebut, maka samasekali
ahli waris musti mencari sawah lain untuk memenuhi bagian masing-masing menurut
pembahagian Adat Batak sebagai dimaksud
di Fatsal-2 sub no.1 sampai 7.
Fatsal 17.
Sawah yang di Aek
Haminjon diberikan kepada Anakboru kami (Tiangur, Duma, dan Masteri Chairani)
dengan peraturan dan perjanjian sebagai dimaksud Fatsal-2 sub. no.8.
Fatsal 18.
Semua kami ahli waris
musti berrusaha untuk kemajuan kami bersama, dan memelihara hak-hak kami di
Hanopan dan diluar Hanopan. Yang lebih berjasa akan mendapat peng-hargaan
setimpal dengan jasanya, dan yang melalaikan kewajibannya dihukum setimpal
dengan kelalaiannya. Penghargaan dan kelalaian itu akan ditimbang oleh
musawarat ka-mi.
Fatsal 19.
Surat pembahagian ini
diperbuat 8 (delapan) buah, 2 (dua) dipegang anak sulung dan 1( satu) dipegang
masing-masing ahli waris.
Maka surat pembahagian
ini kami perbuat sah menurut Adat Kampung kami dengan fiki-ran yang waras dan
dihadiri oleh ibu kami, Mora kami Baginda Soritua dari Bunga Bon-dar dan
Anakboru kami (Orangkaya kami) Ja Tahanan di Hanopan sebagai saksi. Dan se-sudah
kami baca masing-masing, maka kami tandatangani di Hanopan Surat Pembagian ini
bersama saksi-saksi tersebut.
Surat pembahagian ini
diperbuat dan ditandatangani di Hanopan pada Hari, Bulan, dan Tahun sebagaimana
tersebut diatas.
Para penandatangan:
I Para ahli
waris:
1. Sutor
Harahap, gelar Baginda Pandapotan
2. Maujalo
Harahap, gelar Baginda Soripada
3. Haji
Muhammad Nurdin Harahap
4. Hisar
Harahap, gelar Baginda Harahap
5. Mohammad
Diri Harahap, gelar Baginda Mulia Pinayungan
6. Marajali
Harahap, gelar Baginda Raja Guru Sodungdangon
7. Pamusuk
Harahap, gelar Baginda Namora Pusuk Ni Hayu
II. Para Saksi:
1. Baginda
Soritua
(Mora dari Bunga Bondar)
2. Ja
Tahanan
( Anakboru di Hanopan)
Pasidung
Ari
Pasidung Ari Almarhum Ompung Abdul Hamid Harahap,
gelar Sutan Hanopan
1. Menyampaikan
undangan Pasidung Ari almarhum Ompung Abdul Hamid Harahap, gelar Sutan Hanopan
kepada: Dalihan na Tolu, Hatobangon, dan Harajaon, mulai Hanopan, DAS Aek Silo,
Bunga Bondar, Parau Sorat, Panggulangan, hingga ke Bunga Bondar.
2. Personalia dalam Acara
Pasidung Ari.
a. Raja Panusunan Bulung
b. Paralokalok na Pande
c. Suhut Sihabolonan
d. Kahanggi
e. Hombar Suhut/Pareban
f. Anak Boru: Ja Tahanan dari Hanopan.
g. Pisang Raut/Sibuat Bere
h. Mora: Baginda Soritua dari Bunga Bondar.
i. Hatobangon ni Huta Hanopan (Namora Natoras):
j. Raja ni Huta Hanopan
k. Raja-raja ni Huta Torbing Balok
l. Raja-raja Luat ni Desa na Walu
3. Pemasangan bendera-bendera
adat depan rumah duka di Bagas Godang Hanopan.
4. Mengeluakan barang-barang
Adat:
a. Bulang
b. Peti berisi pakaian peninggalan almarhum.
c. Abit Godang (Abit Batak, atau Ulos)
d. Tikar Lapis (3, 5, atau 7 lapis)
e. Burangir Nahombang dan Burangir Panyurduan.
f. Payung Rarangan
g. Bendera
h.
Tombak, Podang
i. Tawak-tawak
j. Tanduk Kerbau
5. Acara Adat Pasidung Ari
I. Pemakaman Almarhum Ompung Abdul Hamid Harahap,
gelar Sutan Hanopan dalam
Bale Julu di kampung Hanopan.
II. Upacara Adat
Pasidung Ari.
a. Menyembelih hewan kurban Nabontar (Kerbau) di halaman Bagas Godang Hanopan.
b. Menyiapkan ruangan.
c. Dalihan Na Tolu, Hatobangon, Harajaon, dan masyarakat mengambil
tempat dalam ru-
ang tengah Bagas Godang Hanopan.
Bagian Pertama
(Sidang para Raja tanpa
kaum ibu)
d. Sidang Adat Haruaya Mardomu Bulung dipimpin Raja Panusunan Bulung (RPB).
e. Orang Kaya pembawa acara minta anakboru manyurduhon burangir (panyurduan dan
nahombang) lalu meletakkan
keduanya didepan Raja Panusunan Bulung.
f. Orang Kaya minta kepada Suhut Sihabolonan menyampaikan isi hatinya. Adapun yang
menjadi pokok pembicaraan ialah:
- melaporkan kepada Raja bahwa: Abdul Hamid Harahap, gelar Sutan Hanopan seba-
gai Raja Pamusuk di kampung
Hanopan telah berpulang ke Rakhmatullah.
- memohon kepada para Raja untuk menyampaikan khabar duka pada khalayak ramai.
- bahwa
keluarga almarhum tidak memiliki hutang adat dan dan menyelenggarakan
horja siriaon.
- memohon kepada para Raja untuk
menyaksikan Suhut Sihabolonan menghadap
moranya untuk secara resmi mengabarkan
berita duka ini.
g. Setelah Suhut Sihabolonan berbicara, kemudian disusul Pareban, Anakbpru,
Pisang, Raut,
Mora, Hatobangon, Harajaon, hingga
dengan Raja-raja torbing balok.
h. Setelah semua
selesai berbicara, Raja Panusunan Bulung memutuskan untuk mengabul-
kan semua permohonan Suhut
Sihabolonan.
Pembacaan doa, dan sidang adat bagian pertama
selesai.
i. Pembagian daging Nabontar terjinjing
baiyon loging dibagikan kepada semua yang hadir
peserta sidang adat.
Inilah cara adat di Bona Bulu untuk menyebarluaskan
khabar duka kepada masyarakat,
bahwa Ompung Abdul Hanid, gelar Sutan
Hanopan, telah berpulang ke Rakhmaullah da-
ri tengah semua yang hadir.
Adapun cara pembagian nabontar yang berlaku di Bona Bulu sampai kini ialah sebagai-
mana dibawah ini:
1. Suhut dan Kahanggi : ate-ate dan pusu-pusu.
(maksudnya agar sapangkilalaan, yakni sependeritaan)
2. Anakboru : juhut jantung, udut rungkungampai
(artinya: yang mempunyai tenaga untuk manjuljulkon)
3. Pisang Raut : juhut holi-holi dan kaki depan.
(maknanya: agar cekatan dan rajin bekerja)
4. Raja-raja dan Hatobangon : juhut na marbobak, sude gorar-goraran.
(maknanya: agar memberi pangidoan na bisuk dohot uhum)
5. Raja Panusunan Bulung : lancinok sude gorar-goraran
(maknanya: tempat mendapat parsilaungan, paronding-ondingan)
6. Mora tulan rincan, gorar-goraran
(maknanya: tempat memohon sahala dohot bisuk).
Saat menyerahkan Bagian Mora, daging diletakkan diatas anduri beralas-
kan
daun pisang, lalu ditutup dengan daun yang sama serta abit Batak
diatasnya.
Bagian Kedua
(Sidang Dalihan
Natolu yang dihadiri kaum ibu)
Raja Panusunan Bulung, Raja Pamusuk, Harajaon Torbing
Balok, dan Hatobangon bertindak se-bagai saksi pada jalannya sidang.
a. Menyerahkan
Hasaya ni Karejo dilakukan Suhut Sihabolonan:
1.
Kepada Mora: tulan rincan, ate-ate, mata, dan pinggol diletakkan diatas anduri
beralaskan
daun pisang.
Mora menebus dengan kembalian diatas Pinggan Raja (porselen) bertaburkan beras.
2. Kepada Anakboru: udut rungkung, juhut jantung diletakkan diatas anduri
beralaskan daun
pisang. Anakboru menebus dengan
kembalian diatas Pinggan Raja (porselen) bertaburkan
beras.
3. Suhut Sihabolonan dan kahanggi menyerahkan pemberian kepada Mora.
b. Persiapan
ruangan. Mora duduk di juluan berseberangan dengan Suhut, Kahanggi, Anak-
boru, Pisang Raut, dan saling
berhadapan. Hatobangon dan para Raja duduk di sebelah
kanan dan kiri Mora untuk
menyaksikan.
c. Anakboru manyurduhon Burangir.
d. Suhutsihabolonan
menyampaikan isi hatinya kepada Mora, dan menerangkan:
- bahwa Ompung Sutan Hanopan telah berpulang ke Rakhmatullah
- agar mora tidak mengharapkan lagi kedatangannya di masa datang
menunjukkan hormatnya kepada
mora sebagaimana dilakukan selama ini.
e. Setelah
Suhutsihabolonan berbicara, disusul Pareban, Anakboru, Pisang Raut.
f. Pakaian
peninggalan Opung Abdul Hamid Harahap, gelar Sutan Hanopan dalam peti lalu
diperlihatkan kepada mora sebagai
“pangitean ni namangolu”, dengan harapan agar mora
tidak lagi mengharapakn kedatangannya
sebagaimana selama ini.
g. Mora kemudian
menjawab Suhut Sihabolonan dan menerima resmi menerima peti pakaian
peninggalan
almarhum Ompung Abdul Hamid Harahap, gelar Sutan Hanopan berikut
isinya.
Mora minta
agar isi kopor peninggalan almarhum Ompung Sutan Hanopan dibagikan
kepada kahanggi
semua.
Acara Adat Pasidung Ompung Abdul Hamid
Harahap, gelar Sutan Hanopan selesai.
Pendidikan
dan Pekerjaan Putera dan Puteri Ompung Sutan Hanopan
1. Sutor Harahap, gelar
Baginda Pandapotan
Setelah menyelesaikan
sekolah Gouvernement Sipirok, ia melanjutkan pendidi-
kan ke Kwekeling di
Binjai untuk menjadi guru di Aceh. Kemudian pindah ke
Pandhuis, lalu N.V.
De Bataafsche Petroleum Maatschaappij
Pangkalan Berandan
(BPM), Pelaju; zaman Jepang Asano
Butai di Mangunjaya, kemudian sete-
lah merdeka di Permiri.
Terakhir menjadi Guru Kepala SR VI di Lubuk Linggau
sampai pensiun.
2. Maujalo Harahap, gelar
Baginda Soripada
Setelah menyelesaikan
sekolah Gouvernement di Sipirok, bekerja di DSM
Medan. Terakhir
bekerja di kantor Bupati Padang Sidempuan sampai pensiun.
3. Siti Angur Harahap (pr).
4. Duma Sari Harahap (pr).
5. Pelinuruddin Harahap, gelar
Haji Muhammad Nurdin
Setelah menyelesaikan
Sekolah Agama Islam di Mekah, Saudi Arabia bekerja
di Kantor Agama
Sibolga sampai pensiun.
6. Aminah (pr).
7. Sorimuda (Hisar)
Harahap, gelar Baginda Harahap.
Setelah menyelesaikan
sekolah Gouvernement di Sipirok, lalu berusaha sendiri
di Hanopan.
8. Muhammad Diri Harahap
S.H., gelar Baginda Mulia Pinayungan
Setelah menyelesaikan
sekolah HIS dan MULO di Sipirok, merantau ke Pema-
tang Siantar. Menjadi
Wedana di Sipirok. Pindah ke Sibolga dan Medan, lalu
lalu menjdi Bupati di
Jakarta. Menjadi Residen UNTEA
di Keresidenan Hol-
landia, Papua. Mengikuti
UI Extension di Jakarta. Terakhir menjadi pejabat di
Kantor Gubernur DKI
Jakarta.
9. Muhammad Harahap
Meninggal muda.
10. Erjep Khairani Harahap
(pr).
11. Maradjali Harahap BRE, gelar Baginda Raja
Guru Sodungdangon.
Setelah
menyelesaikan sekolah HIS dan MULO di Sipirok, melanjutkan ke
Welhelwina School di
Batavia. Menjadi kepala PU Tapanuli di Padang Sidem-
puan, mengikuti
Akademi PU Bandung. Menjadi pejabat PU di Medan sampai
pensiun.
12. Dr. Pamusuk Harahap,
gelar Baginda Namora Pusuk Ni Hayu.
Setelah menyelesaikan sekolah
HIS, MULO, dan AMS, meneruskan ke Fakul-
tas Kedokteran USU
Medan. Menjadi dokter di Padang, terakhir Kepala Rumah
Sakit Jiwa Padang.
Ompung Sutan Hanopan menikahkan
Putera dan Puteri dengan para cucuya:
1. Sutor Harahap, gelar
Baginda Pandapotan, menikah dengan Molun Siregar,
pomparan
Ja Pangajian dari Bunga Bondar, keturunannya:
1. Amir Hamzah.
2. Sangkot Syarif Ali Tua.
3. Marasuddin.
4. Sangkot Abdul Hamid.
5. Sangkot Anwar Bey Effendy.
6. Mohammad Arifin.
7. Mohammad Rusli.
8. Fatimah Marsari (pr).
2. Maujalo Harahap, gelar
Baginda Soripada, menikah dengan Siti Maddiah boru
Pulungan dari Aek
Badak Mandailing, keturunannya:
1. Siti Ramalan (pr).
2. Sanusi.
3. Sahala (pr).
4. Muhammad Ali,
5. Syarifah (pr).
6. Luthfi.
7. Pangaduan Muda.
8. Mohammad Nasir.
9. Trimurti (pr).
10. Indra Caya.
11. Zulkarnain.
3. Siti Angur (pr), menikah
dengan Binanga, marga Pane dari Arse.
4. Duma Sari (pr), menikah
dengan Bunbunan, marga Simatupang dari Lumban
Lobu, Sipirok, keturunannya:
1. Ngolu (pr)
2. Lila
3. Hari Raya
5. Syafei
6. Hasan
7. Yusdin
5. Pelinuruddin Harahap,
Haji Muhammad Nurdin, menikah dengan Intan Darilah,
boru Tanjung dari
Sibolga, keturunannya:
1. Alamsyah Budin.
2.
Basri.
3. Zubaidah (pr).
4. Ustan.
5. Kartini.
6. Kardinah.
7. Tobotan.
8. Lahuddin.
9. Muhiddin.
10. Halimatussakdiah
(pr).
11.
Nursaidah (pr).
12.
Muhammad Sukri.
13.
Abdul Halim.
6. Aminah Harahap (pr) meninggal gadis.
7. Sorimuda (Hisar)
Harahap, gelar Baginda Harahap, menikah dengan Hamis,
boru Tambunan dari
Arse Jae Dolok, ketutunannya:
1. Ratu Mona (pr).
2. Deliana (pr).
8. Muhammad Din (Diri)
Harahap, gelar Baginda Mulia Pinayungan, menikah
dengan Sari Intan,
boru Pane dari Arse, keturunannya:
1. Dirwan Yuliansyah.
2. Dirwani Elvy Yuswita (pr).
3. Magnora Khaerina (pr).
9. Muhammad Harahap, meninggal
muda.
10. Erjep Khairani Harahap (pr)
menikah dengan Amir, marga Pulungan dari Sumu-
ran, keturunannya:
1. Thamrin
2. Latifah Hanum (pr)
3. Asminar (pr)
4. Murni Astri (pr)
5. Risna Masniari (pr)
6. Zulkarnain
7. Nini (pr)
8. Lisna Yuliani (pr)
11. Maradjali Harahap, gelar
Baginda Raja Guru Sodungdangon, menikah dengan
Irma, boru Regar dari
Bagas Godang Sipirok, keturunannya:
1. Darwisyah (pr).
2. Erwina (pr).
3. Irsan.
4. Ahmad Daulat.
12. Pamusuk Harahap, gelar
Baginda Namora Pusuk Ni Hayu, menikah dengan Yus-
na Wagiman, boru dari Purworjo Jawa
Tengah dan tinggal di Padang, keturunan-
nya:
1. Prita Dumasari (pr).
2. Rina (pr).
3.
Wirsma Arif.
4. Bourdon Saleh.
Seluruh cucu Ompung Sutan
Hanopan berjumlah 60 orang.
------------Selesai-----------
Disusun oleh cucu:
H.M.Rusli Harahap,
gelar Sutan Hamonangan
Jalan Batu Pancawarna I/2A, Pulomas
Jakarta 13210. Tel: 472-2243.




No comments:
Post a Comment